Tuesday, 12 June 2012

Perspektif Psikologi Tentang Masyarakat


Self adalah sebuah identitas yang berkaitan dengan pengembangan diri individu untuk membuat perbedaan yang memisahkan satu individu dengan yang lain. Pembentukkan self berdasarkan pandangan sosiologi, menurut Mead (1972) adalah pengembangan diri manusia melalui beberapa tahap.  Tidak jauh berbeda dengan pandangan dari sisi psikologi dalam implicit personality theory yang menyatakan bahwa apa yang ditampilkan seseorang muncul karena pandangan yang diadopsinya (Dweck, 1996). Implicit personality theory adalah gabungan asumsi yang dimiliki seseorang tentang perbedaan tipe, sifat-sifat kepribadian, dan kegiatan yang berhubungan dengan pengaruh masa kanak-kanak. (Dweck et. al., 1995; Erdley&Dweck, 1993). Hal-hal dari sudut pandang psikologi yang menjadi faktor yang pembentuk self diantaranya adalah judging dan labeling dari lingkungan sekitarnya. Keduanya membahas hal yang menjadikan seorang individu memiliki identitas.
Pembentukan Self dari Pandangan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menginterpretasikan pemahaman dari kegiatan sosial yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang sebab dan akibat (Weber, 1964).
Merujuk kepada pandangan dalam ranah sosiologi, selain self terbentuk berdasarkan beberapa tahap, ada juga pandangan Charles H. Cooley yang memaparkan bahwa konsep diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain yang dikenal dengan looking-glass self. Persepsi akan looking-glass self terkait dengan persepsi yang ditangkap seseorang atas dirinya yang berasal dari orang lain dan dirinya, serta perasaan orang lain atas dirinya. Pandangan Cooley ini memiliki kesamaan dengan pandangan Mead dimana pembentukan self berasal dari interaksi sosial.
Pada pandangan oleh Mead pengembangan manusia berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu play, game stage, dan tahap generalized other. Pengembangan diri seseorang melalui peranan yang diambil (role taking) pada setiap kali interaksi dengan orang lain. Melalui tahap pertama, paly stage, anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada di  sekitarnya. Pada saat ini seorang anak biasanya meniru tingkah laku orang lain. Seperti bermain dengan meniru peran yang dijalankan ayah, ibu, dokter, atau polisi. Kemungkinan peran yang ditiru tergantung dengan peran apa yang paling sering dilihatnya. Meskipun mereka menirukan apa yang dilakukan, tetapi mereka tidak memahami sepenuhnya untuk apa orang yeng mereka tiru perannya melakukan hal tersebut. Seperti ketika dari mereka menirukan ayahnya yeng pergi untuk berangkat kerja, maka mereka tidak paham untuk apa ayahnya pergi berkerja dan makna lainnya dibalik hal tersebut.
Tahapan selanjutnya adalah game stage,pada saat ini seorang anak memahami peran yang harus dijalankannya dan bagaimana dia menjalakannya dengan lawan ia berinteraksi.  Contoh dalam kehidupan sehari-hari, ketika seorang anak bermain dalam pertandingan bola sebagai seorang penjaga gawang, maka pada saat itu ia mengetahui peranan pemain (pemain, wasit, penjaga gawang) yang lain, baik dari timnya atau pun tim lawan. Menurut Mead seseorang dapat dinyatakan dapat mengambil peranan orang lain.
Menurut Mead, orang-orang yang berperan penting dan  berpengaruh pada masa sosialisasi disebut dengan significant others, seperti orang terdekat dalam keluarga, contohnya ayah dan ibu. Pada tahapan ketiga sosialisasi, seseorang dapat dinyatakan dapat mengambil peranan yang dijalankan oleh orang lain dalam masyarakat, generalized others. Individu dapat berinteraksi karena telah mampu untuk memahami perannya sendiri serta peranan orang lain yang berinteraksi dengannya. Contohnya seorang anak dapat memahami perannya sebagai anak dari orang tuanya di rumah dan sebagai murid ia mampu memahami peran seorang guru yang berinteraksi di sekolah dengannya. Pada tahapan ini seseorang mempunyai suatu diri, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa Mead memaparkan bahwa diri seseorang terbentuk dari interaksi dengan orang lain.
Interaksi dengan orang lain melalui agen-agen sosialisasi, yaitu pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi (Fuller & Jacobs, 1973). Yang termasuk ke dalam agen-agen sosiall, yang biasanya diterapkan di Amerika, yang utama adalah keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan.  Pada keluarga biasanya yang masuk dalam ruang lingkup utamanya adalah orang tua dan saudara kandung, meskipun begitu terjadi kecenderungan bergesernya agen sosialisasi yang utama ini. Contohnya di kota besar banyak orang tua dengan mobilitas tinggi sehingga menitipkan anak pada pembantu. Sehingga pembantu memerankan peranan penting sebagai agen sosialisasi. Agen sosialisasi yang menjembatani anak masuk ke tahapan play stage.
Teman bermain merupakan agen sosialisasi selanjutnya biasanya yang termasuk adalah teman sekolah, tetangga, atau keluarga yang hubungannya tidak setingkat (orang tua-anak,, paman-keponakan, atau kakek-cucu). Pada agen sosialisasi ini anak mempelajari kemampuan baru. Pada agen sosialisasi ini anak memasuki tahapan game stage. Agen sosialisasi berikutnya adalah sistem pendidikan, yang biasanya lebih erat kaitannya dengan sistem pendidikan formal, yaitu sekolah. Selain dari pelajaran yang dipelajari, sekolah mengajarkan hal lain yang tidak diajarkan agen–agen sosialisasi sebelumnya. Menurut Robert Dreeben (1986), sekolah mengajarkan kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesifitas. Pelajaran yang diungkapkan oleh Dreeben memang diberikan di sekolah, walaupun tidak secara langsung. Banyak hal yang dapat membawa anak kepada pengajaran tersebut seperti rangking di kelas, keharusan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, perlakuan sama yang ia dapat di sekolah, dan keanekaragaman mata pelajaran yang ada.
Light, Keller, dan Calhoun (1989) memaparkan agen sosialisasi selanjutnya adalah media massa, yang termasuk kategori media massa adalah media cetak (surat kabar, majalah) maupun media elektronik (radio, televisi, video, film, kaset, CD). Perlu ditambahkan media elektronik yang terkini dan mengalami perkembangan, yaitu internet. Media massa adalah agen sosialisasi yang dapat menghimpun banyak orang untuk menyampaikan satu informasi. Pesan yang disampaikan dapat bermuatan sosial dan anti-sosial. Sampai pada tahun 1973, Fuller dan Jacobs belum dapat memastikan dampak signifikan yang disebabkan dari menonton televisi pada anak. Hingga pada tahun 1992, studi yang dilakukan oleh Norman K. Meyrowitz, memberikan gambaran bahwa televise memiliki kemampuan untuk mempangaruhi sensibilitas penontonnya. Selain itu muncul juga kekerasan pada tayangan anak-anak, seperti yang muncul dalam film kartun Tom&Jerry. Hal ini dapat memberikan dampak negatif kepada anak. Meskipun begitu masih ada tayangan edukatif tersedia di televisi seperti tayangan anak-anak yang mengajarkan hal-hal tertentu, seperti menyanyi, membaca, atau belajar bahasa inggris. Namun semenjak berkembangnya internet, televise berkurang porsinya, sebab banyak yeng beralih kepada internet. Disini agen sosialisasi keluarga berperan memberikan pengawasan. Agar anak dapat belajar menyaring informasi yang didapatkannya.
Pembentukan Self dari Pandangan Psikologi
Psikologi adalah studi ilmiah tentang tingkah laku dan proses mental. Dimana tingkah laku termasuk di dalamnya adalah aksi dan reaksi yang muncul seperti, bicara, ekspresi wajah, dan pergerakan. Sementara itu proses mental terkait dengan segala hal yang sifatnya internal, aktivitas yang tidak terlihat dari pikiran, seperti berpikir, merasa, dan mengingat. (Ciccarelli, 2006).
Sebelumnya telah dipaparkan tentang pandangan psikologi mengenai self yang berkaitan dengan teori kepribadian implisit. Contoh  bagian masyarakat yang memiliki pemahaman akan teori kepribadian implisit adalah orang-orang yang percaya bahwa orang-orang yang bahagia biasanya akan menjadi ramah dan orang yang pendiam adalah orang yang pemalu. Menurut Piaget, meskipun asumsi atau hal yang mereka percaya tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab mungkin ada faktor lain yang mempengaruhi, namun ini membantu mereka untuk membentuk suatu konsep yang merepresentasikan bagaimana kategori tipe orang tertentu. Sayangnya hal ini dapat dengan mudah membentuk sebuah stereotype, jika orang tersebut tidak memiliki banyak pengalaman bertemu orang lain yang berbeda darinya, seperti warna kulit dan karakteristik fisik yang berbeda darinya (Levy, 1998).
Beberapa bukti menyatakan bahwa ada perbedaan dalam teori kepribadian implisit di berbagai negara. Hal ini disebabkan faktor kultural dan individual yang berbeda. Dapat dicontohkan dari hasil penilitian di dua negara yang berbeda dari dua benua yang berbeda , yaitu Amerika dan Hongkong (keturunan Cina), mengenai kepribadian. Responden dalam penilitia diberikan pertanyaan tentang seberapa mungkin kepribadiaan pada individu dapat berubah.  Responden dari Amerika menyatakan bahwa kepribadian seseorang relatif tetap dan tidak berubah.  Sedangkan orang Cina yang tinggal di Hongkong memiliki asumsi bahwa kepribadian sifatnya dapat berubah(Chiu et al., 1997).
Ada pula aspek sosial lain yang berkaitan dengan kognisi untuk menjelaskan tingkah laku dari orang lain. Seperti pada saat seorang melihat tingkah laku orang lain, maka ia akan berpikir alasan dari tingkah laku tersebut. Hal adalah bagian alamiah seseorang sebian berasal dari rasa ingin tahu untuk menjelaskan satu hal dan apabila mereka tidaka menemukan jawaban yang jelas, maka mereka akan membuat alasan dengan pemikirannya sendiri. Penjelasan dari proses tentang alasan kita melakukan diri sendiri dan orang lain melakukan suatu tingkah laku disebut attribution.
Attribution theory dikembangkan pertama kali oleh psikolog sosial, Frietz Heider (1958), teori bukan hanya sebagai penjelasan mengapa mereka melakukan hal tersebut, tapi juga memberikan penjelasan umum dari tingkah laku tersebut. Penyebab tingkah laku dibagi menjadi dua yaitu dari eksternal dan individual. Penyebab eksternal bisa berupa akibat dari cuaca, kemacetan, kesempatan pendidikan, dan lain-lain, hal ini biasa disebut dengan kasus situasional. Contohnya adalah ketika seseorang terlambat karena mengalami kemacetan di jalan. Penyebab individual berhubungan dengan karakteristik kepribadian yang ditemukan berdasarkan observasi tingkah laku, disebut juga penyebab disposisional. Contohnya seseorang datang terlambat karena dirinya malas untuk bangun lebih pagi. Selain itu pandangan berdasar attribution theory biasanya memiliki keterikatan emosional, misalnya seseorang melakukan hal yang salah karena mengalami hari yang kurang baik.
Ada pula yang disebut dengan  fundamental attribution theory, yaitu tendensi orang-orang untuk lebih percaya terhadap pengaruh karakteristik internal seseorang dibandingkan pada kondisi yang ada terhadap muculnya satu perilaku. Dengan kata lain mereka lebih percaya terhadap hal yang membuat orang melakukan sesuatu karena apa yang ada di dalam dirinya, tipe orang tertentu, dibandingkan faktor luar atau situasi yang membuat orang berlaku seperti itu (Harman, 1999; Jones & Harris, 1967; Weiner, 1985).  Contohnya seorang yang lebih percaya bahwa anak yang mendapat nilai jelek pada ulangan adalah anak yang bodoh, bukan karena kemungkinan anak itu tidak belajar atau sedang sakit sehingga tidak dapat mengerjakan soal ulangan.
Menurut Dweck hal lain yang mempengaruhi pembentukkan self dapat terjadi karena judging dan labeling. Pada proses judging seseorang cenderung memberikan perbandingan dengan orang lain. Melalui interaksi yang dilakukan dengan orang lain mereka perbandingan untuk melakukan pengukuran untuk satu kriteria tertentu. Hal yang biasanya dibandingkan adalah  kecerdasan, kepribadian, dan karakter. Menyangkut kecerdasan biasanya judging yang ada berdasarkan atas keberhasilan atau kegagalan yang didapatkan. Pada penelitian yang dilakukan Gail Heyman dan Carols Dweck (1998), mereka menanyakan beberapa anak sekolah tentang siapa saja teman sekelas mereka yang dinilai memiliki nilai bagus dalam mengerjakan tugas dan kenapa mereka berpikir orang-orang itu memiliki kemampuan seperti itu. Beberapa diantaranya memberikan jawaban bahwa orang yang mereka anggap pintar memang pada dasarnya sudah pintar dan itu terjadi begitu saja. Mereka memberikan penilaian meninjau dari aspek kebiasaan, konsentrasi, kemampuan menghadapi masalah, dan motivasi. Semua itu cenderung mengarah kepada keberhasilan. Sementara jika dibandingkan dengan studi dengan pertanyaan yang menanyakan siapa saja teman sekelas mereka yang mendapat nilai kurang bagus, mereka menyatakan bahwa mereka adalah orang yang gagal dalam pelajaran. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan dinilai dengan mengukur keberhasilan yang diraih, terutama dalam hal akademisi.
Pada proses labeling kemampuan persuasive orang lain memiliki andil. Opini yang terbentuk pada diri seseorang yang berasal dari orang lain dapat menjadikan orang tersebut seperti apa yang di dalam opini orang lain. Impresi mempengaruhi untuk menilai orang lain. Seperti pada studi yang dikemukan oleh Chiu (1997) bahwa kita dapat merubah teori implisit, sekaligus untuk merubah tendensi perkiraan sifat yang muncul dari lawan berinteraksi.
Perbandingan Pandangan Psikologi dan Sosiologi Dalam Pembentukkan Self
Dari pengertian keduanya, Psikologi dan Sosiologi, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki sedikit perbedaan kajian. Sosiologi memandang objek kajiannya dengan kegiatan sosial, sedangkan psikologi meninjau proses yang terjadi yang berhubungan dengan kejiwaan manusia. Namun, sebagai ilmu pengetahuan keduanya berkesinambungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana mereka memandang pembentukkan self juga memiliki kesamaan, yaitu berasal dari interaksi sosial dengan sekitarnya.
Mengingat keduanya adalah ilmu yang berbeda, tentu saja keduanya juga memiliki perbedaan. Sosiologi memandang bahwa pembentukkan self terjadi secara bertahap dengan mempelajari kemampuan baru melalui agen sosial. Psikologi memandang pembentukan self pandangan orang lain yang memberikan pengaruh. Pada tinjauan psikologi, self dipengaruhi dua hal, yang bersifat bawaan berupa sifat di dalam diri seseorang dan suatu hal yang sifatnya situasional. Selain itu juga ada judging dan labeling yang memberikan pengaruh dalam membentuk self sebagai representasi diri dari orang lain, sebenarnya hal ini hampir sama dengan teori sosiologi mengenai looking glass self. Hal yang dibicarakan relatif sama, yaitu mengenai asumsi.
Perbedaan lain dari keduanya, dimana sosiologi memberikan istilah khusus dengan mengkategorikan lawan interaksi ke dalam agen-agen sosial, sedangkan psikologi menggeneralisasikannya. Secara garis besar perbedaan lainnya juga ditunjukkan dengan sosiologi memandang pembetukkan self drai faktor sosial dan eksternal, sedangkan dari pandangan psikologi juga diiringi dengan faktor dalam diri orang tersebut. Dapat dilihat keterkaitan keduanya dalam membahas self, dimana teori yang ada saling mendukung dalam pembentukkan self.
Referensi
Ciccarelli, S. K., & Meyer, G. E. (2006). Psychology. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Dweck, S. C. (2000). Self-Theories. Philadelphia: Psychology Press.
Lisus, N. A., & Ericson, R. V. (1995). The Effect of Television Format on Holocaust Remembrance. The British Journal of Sociology , 46, 1-19.
Sunarto, K. (2000). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Psikologi Masyarakat


Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya  merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk)  memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain , karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Masyarakat  Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan,  baik perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan  dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia  lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature)  dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian memunculkan adanya  kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis individu  anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu kebudayaan  (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif  masyarakat yang dihadapi suatu masyarakat.  Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang  sifat adaptasi pranata  sosial terhadap kondisi lingkungan,  dengan modifikasi karakterologi psiko analitik.   Teori Erich Formm mengenai watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai  tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk  “kepribadian tipikal’  atau  kepribadian  kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan  kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan  dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif  suatu masyarakat perlu menerjemahkannya kedalam  unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus  mereka lakukan.
Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2 proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan  sebagai hasil hubungan  manusia  dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric sehingga dapat  memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya  pola tingkah laku bagi masyarakat pendukungnya.
Analisis Pemikiran Mead Tentang Interksionisme Simbolik
Kebudayaan adalah hasil dari cipta sebagai keluaran dari proses manipulasi manusia yang berorientasi pada kebutuhan hidup. Menurut Mead, masyarakatlah yang pertama kali muncul lalu diikuti pemikiran-pemikiran yang ada dalam masyarakat. Kelompok sosial yang selanjutnya membentuk kesadaran diri dan perkembangan mental individu.
Oleh karena itu, Mead juga menyimpulkan alasannya membuat konsep interaksionisme simbolis, yaitu pemakaian konsep psikologi sosial dengan konsekuensi yang melekat padanya. Untuk menganalisis perilaku ataupun tindakan sosial harus dimulai menganalisis perilaku sosial sebagai kompleksitas dari perilaku-perilaku individu yang menjadi bagian-bagian perilaku sosial tersebut. Dan juga, bagi psikologi sosial adalah keseluruhan (masyarakat) mendahului bagian (individu), bukan bagian mendahului keseluruhan, bukan keseluruhan menurut satu atau beberapa bagian.
Dalam konsep teori Herbert Mead tentang interaksionisme simbolis terdapat prinsip-prinsip dasar yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. manusia dibekali kemampuan berpikir, tidak seperti binatang
b. kemampuan berpikir ditentukan oleh interaksi sosial individu
c. dalam berinteraksi sosial, manusia belajar memahami simbol-simbol beserta maknanya yang memungkinkan manusia untuk memakai kemampuan berpikirnya
d. makna dan simbol memungkinkan manusia untuk bertindak (khusus dan sosial) dan berinteraksi
e. manusia dapat mengubah arti dan simbol yang digunakan saat berinteraksi berdasar penafsiran mereka terhadap situasi
f. manusia berkesempatan untuk melakukan modifikasi dan perubahan karena berkemampuan berinteraksi dengan diri yang hasilnya adalah peluang tindakan dan pilihan tindakan
g. pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok bahkan masyarakat.
A. Mind (Akal Budi atau Pikiran)
Pikiran bagi Mead tidak dipandang sebagai objek, namun lebih ke proses sosial. Mead juga mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Menurut Mead, manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Pikiran manusia sangat berbeda dengan binatang. Namun, juga ada interaksi dan perilaku manusia yang tidak dijembatani oleh pikiran, sehingga terdapat persamaan dengan binatang.
Pikiran dalam analisis Mead adalah suatu proses internal individu yang menimbang-nimbang tentang kebaikan-keburukan, keuntungan-kerugian sebuah tindakan sebelum individu melakukannya. Pikiran sangat dipengaruhi pengalaman-pengalaman dan memori-memori masa lalu, ini juga yang membedakan antara manusia dengan binatang, yaitu mengambil pelajaran dari suatu pengalaman.
Misalnya interaksi antara dua anjing, pada dasarnya hanya pertukaran isyarat yang menimbulkan reaksi, singkatnya proses aksi-reaksi. Dan, tidak ada pemakaian akal budi dalam proses itu. Pada manusia dalam proses aksi-reaksi secara umum melibatkan akal budi, manusia mengerti makna dari isyarat atau simbol dari manusia lain, lalu menafsirkannya dengan akal budi, dan di sinilah terjadi proses sosial yang dimkasud oleh Mead di atas.
Pikiran manusia berorientasi pada rasionalitas. Dengan pikiran itulah manusia bisa melakukan proses refleksi yang disebabkan pemakaian simbol-simbol oleh manusia yang berinteraksi, sebut saja sebagai aktor. Simbol-simbol yang digunakan adalah berbentuk gestur dan bahasa yang bagi Mead dianggap sebagai simbol-simbol signifikan yang akan dibahas selanjutnya. Ciri khas dari pikiran adalah kemampuan individu untuk tidak sekedar membangkitkan respons orang lain dari dalam dirinya sendiri, namun juga respons dari komunitas keseluruhan.
Namun, apabila dikaji lebih dalam, interaksi antarmanusia lebih memiliki kecenderungan dalam penggunaan bahasa verbal daripada gestur, namun tidak dipungkiri juga pemakaian gestur atau isyarat tubuh sering digunakan.
Manusia dalam menginteraksikan simbol-simbol dalam kehidupan, baik gestur maupun bahasa, prasyaratnya adalah konsensus bersama suatu kelompok atau organisasi sosial tentang makna dari sebuah simbol. Hal ini juga mengakibatkan perbedaan makna tergantung pada lokal masyarakatnya. Contohnya adalah gestur menggelengkan kepala di masyarakat Indonesia mewakili makna tidak atau tidak setuju, di lain tempat, makna dari menggelengkan kepala adalah mempersetujui atau mengiyakan sesuatu hal, dan ini terjadi di masyarakat India. Namun, selain memiliki perbedaan, ada juga makna universal yang dapat dipakai dalam mengartikan sebuah simbol oleh masyarakat. Seperti, gestur senyuman yang dilakukan seseorang akan mewakili sebuah makna kesenangan atau kebahagiaan, dan makna ini berlaku secara universal di manapun.
Berbeda dengan bahasa, gestur memiliki lebih sedikit kekayaan makna daripada bahasa jika pemakaian bahasa digunakan pada individu yang dominan dengan komunikasi verbal. Jika dilihat pada individu-individu dengan cacat fisik seperti tuna rungu, sebaliknya gestur sangat mendominasi penginteraksian makna-makna melalui simbol-simbol gestur. Dan gestur-gestur yang digunakan oleh para tuna rungu ini secara universal digunakan tanpa ada perbedaan kultural.
B. Aksi (Tindakan) dan Interaksi
Fokus dari interaksionisme simbolik adalah dampak dari makna-makna dan simbol-simbol yang digunakan dalam aksi dan interaksi manusia dalam tindakan sosial yang covert dan overt. Melalui aksi dan interaksi ini pula manusia membentuk suatu makna dari simbol yang dikonstruksikan secara bersama. Suatu makna dari simbol dapat berbeda menurut situasi.
Aksi atau tindakan sosial pada dasarnya adalah sebuah tindakan seseorang yang bertindak melalui suatu pertimbangan menjadi orang lain dalam pikirannya. Atau, dalam melakukan tindakan sosial, manusia dapat mengukur dampaknya terhadap orang lain yang terlibat dalam serangkaian tindakan itu.
Dalam proses interaksi, manusia memakai simbol-simbol untuk mengomunikasikan makna-makna dalam diri yang ingin disampaikan. Dan setelahnya proses tadi, manusia lain yang terlibat dalam interkasi tersebut mengintepretasikan simbol-simbol tadi berdasar intepretrasinya sendiri. Secara garis besar terdapat hubungan timbal balik antar aktor dalam berinteraksi.
Analisis Mead tentang stimulus dan respon masuk dalam kerangka perilaku seperti ini, seperti hewan yang hanya melempar stimulus dan menerimanya sehingga mengeluarkan respon untuk stimulus itu seketika itu juga tanpa mempertimbangkan apapun berdasar pengalaman atau memori.
Berbeda dengan manusia sebagai individu yang berinteraksi dengan manusia yang lain, perbedaannya dalam interaksi antarmanusia sebagai individu terdapat tempat atau momentum di mana pikiran mengambil tempat dalam proses stimulus-respon tersebut. Manusia sebagai individu memiliki pikiran yang mempengaruhi setiap tindakan yang akan dilakukan olehnya.
Perbedaan interaksi manusia dengan binatang adalah langsung dan tidak langsung. Binatang langsung merespon apa yang diterimanya dari binatang lain, namun manusia memiliki kesempatan untuk memikirkan tindakan terbaik apa yang menurut subjektifnya yang akan dilakukan. Misal, ada seekor anak kucing yang sedang marah lalu menegakkan bulu-bulu di badannya di hadapan kucing yang lain, maka kucing yang lain akan memberikan secara langsung respon marah dan ingin berkelahi dengan kucing yang melempar stimulus tadi. Sebagai perbandingan, ketika Joko yang bekas korban kecelakaan sepeda motor, maka ia akan lebih berhati-hati dalam memutuskan dia akan menjadi pengendara atau pembonceng karena pengaruh pengalaman atau memori masa lalunya.
Tindakan menurut Mead menurut analisisnya melalui empat tahapan, yaitu impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumasi. Keempat tahap ini menurut Mead menjadi suatu rangkaian dalam melakukan suatu tindakan yang tidak dapat dilepaskan satu per satu.
Impuls, sama seperti stimulus atau rangsangan yang didapatkan ataupun muncul tiba-tiba pada seorang individu. Dalam kehidupan sosial, impuls bukan hanya sekedar rasa lapar saja, melainkan juga berbagai masalah dapat menjadi impuls bagi individu yang menyebabkan individu harus dapat mencari pemecahan terhadap masalah tersebut.
Persepsi adalah proses tanggapan dan respon terhadap impuls (permasalahan) yang dihadapi individu. Pikiran (Mind) dalam tahap ini sangat berperan penting dalam menyikapi impuls tersebut. Pada tahap persepsi yang memerankan pikiran dalam prosesnya, individu memberi ruang untuk memikirkan dan mempetimbangkan segala sesuatu untuk bertindak, mana yang akan diambil dan dibuang dari pikirannya.
Manipulasi menjadi tahap ketiga dari serangkaian tahap tindakan. Tahap ini menjadi proses tentang pengambilan keputusan setelah melalui tahap persepsi tadi.
Konsumasi adalah suatu proses di mana individu untuk menentukan melakukan sebuah tindakan atau tidak untuk memenuhi kebuthan yang diciptakan dari impuls tadi. Disini terdapat perbedaan antara manusia dan binatang, dalam tahap ini dan manipulasi, pengalaman masa lalu dilibatkan oleh individu yaitu manusia, berbeda dengan binatang yang dalam dua tahap ini bersifat coba-coba.
Keempat tahap tersebut di atas dapat dianalogikan seperti ini. Kebutuhan akan pemenuhan pengumpulan tugas mata kuliah Teori Sosial Politik pada hari Rabu minggu depan membuat mahasiswa Sosiologi bingung dalam kebutuhan tersebut. Dengan belajar kelompok dipikirkan sebagai suatu jalan keluar bagi permasalahan tersebut, belajar kelompok pun harus memilih seorang mahasiswa yang mempunyai kompetensi untuk membantu mahasiswa-mahasiswa yang menghadapi permasalahan itu dan Joko adalah mahasiswa yang berkompeten. Keputusannya adalah belajar kelompok di kostnya Joko. Sehingga, pada hari Kamis malam beberapa mahasiswa Sosiologi pun belajar kelompok di kostnya Joko.
C. Self (Diri)
Diri menurut Mead juga bukan merupakan sebuah objek, namun sebagai subjek sebagaimana pikiran. Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Diri adalah suatu proses sosial yang mempunyai kemampuan:
1. memberikan jawaban atau tanggapan kepada diri sendiri seperti orang lain memberi tanggapan atau jawaban,
2. memberikan jawaban atau tanggapan seperti norma umum memberikan jawaban kepadanya (Generalized Others),
3. mengambil bagian dalam percakapannya sendiri dengan orang lain,
4. menyadari apa yang sedang dilakukannya sekarang dan kesadaran untuk melakukan tindakan pada tahap selanjutnya.
Menurut Mead, diri itu mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi. Ada tiga tahap dalam proses sosialisasi ini, yaitu tahap bermain (Play stage), tahap permainan (Game stage), dan tahap orang lain pada umumnya (Generalized Others).
Tahap bermain (play stage) penuh dengan kepura-puraan, maksudnya dalam tahap ini, anak-anak mengambil peran atau mengandaikan dirinya sebagai orang lain. Atau “pura-pura menjadi orang lain”. Dalam perkembangan yang ‘pura-pura” ini, proses pemahaman diri sebagai peran pengandaiannya kurang mapan, tidak tertata, dan tidak pada umumnya. Misalnya, seorang anak kecil yang bermain “pasaran” dalam konteks masyarakat Jawa, maka anak itu akan mengandaikan dirinya sebagai seorang pedagang karena bapak ibunya adalah pedagang, namun pemahaman sebagai pedagang hanya dipahami sebagai proses jual beli saja.
Tahap permainan (game stage) menuntut seorang individu memerankan peran dengan utuh. Kesadaran menempati posisi membawa konsekuensi untuk memenuhi semua hak dan kewajiban yang dibebankan pada posisi itu. Sehingga pada tahap ini kepribadian yang kokoh mulai dibentuk. Misalnya, anak-anak yang tadi hanya bermain pasaran saja, sekarang mulai menempatkan posisinya sebagai pedagang yang bukan pura-pura lagi. Anak kecil tadi yang sudah beranjak dewasa mulai memahami posisi sebagai pedagang dengan segala konsekuensinya.
Tahap yang ketiga adalah generalized other atau orang lain pada umumnya. Pada tahap ini, setelah kepribadian yang kokoh sudah mulai terbentuk maka kemampuan mengevaluasi diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain atau masyarakat pada umumnya, tidak sekedar dari sudut pandang individu-individu yang tersegmentasi. Disini norma sosial yang berlaku memilki pengaruh yang kuat dalam penentuan tindakan.
Dalam tahap ini menuntut seorang anak kecil yang sudah beranjak dewasa tadi untuk memiliki kemampuan berpikir serta berempati seperti pedagang lain pada umumnya untuk melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan dalam menentukan harga jualannya.
Diri menurut Mead adalah kemampuan khas manusia untuk menjadi subjek dan objek (I dan Me). Tahap-tahap perkembangan diri manusia yang telah disebutkan di atas harus mengalami proses komunikasi antarmanusia, aktivitas, serta relasi sosial.
I dalam analisis Mead menempatkan diri sebagai individu yang sangat subjektif. Oleh karena itu, I akan memberikan reaksi yang berbeda-beda tiap individu akan suatu rangsangan atau stimulus. Nilai yang dianut oleh tiap individu menyebabkan beragamnya penafsiran dan intepretasi akan sesuatu. I juga membuat kehidupan baik individu dan sosial menjadi sangat dinamis. Pada taraf subjektivitas, perilaku individu akan menjadi spontan dan tidak teramalkan. Misalnya saja, untuk penafsiran tentang arti kecantikan akan berbeda dari tiap individu bahkan yang berada di suatu masyarakat yang sama.
Me lebih stabil daripada I, karena Me adalah kristalisasi dari serangkaian norma yang dibuat secara umum. Artinya, diri sebagai objek akan memberi ruang untuk pengaruh norma sosial atau dengan kata lain, konsep generalized other akan sangat mempengaruhi diri. Me membuat individu dalam bertindak penuh dengan kontrol, sehingga setiap tindakannya akan normatif.
I dalam diri seorang seniman akan lebih kuat daripada pengaruh Me, karena nilai kreativitas yang menghancurkan nilai-nilai konservatif dalam diri seseorang. Lain halnya dengan seseorang yang berjiwa konservatif, orang desa misalnya, mereka akan tetap bertahan hidup di lingkungan pedesaan dengan gaya hidup yang cenderung sama dari waktu ke waktu.
Dapat disimpulkan bahwa, faktor I dalam kehidupan individu sangat menentukan proses perubahan baik di level individu dan masyarakat pada umumnya.
Diri sebagai subjek adalah kemampuan diri untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang ia keluarkan atau tujukan kepada orang lain, dan tanggapan yang diberikan tadi juga termasuk dalam serangkaian dari tindakan. Sedangkan diri sebagai objek maksudnya adalah diri tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri namun juga merespon tindakan yang telah dilakukan seperti individu lain merespon.
D. Society (Masyarakat)
Fokus Mead adalah psikologi, maka tidak heran jika pembahasannya tentang masyarakat dapat dikatakan lemah. Mead melihat masyarakat tidak seperti Durkheim dan Marx yang makro, Mead tidak berbicara tentang masyarakat dalam skala besar beserta struktur di dalamnya. Menurut Mead, masyarakat adalah sekedar organisasi sosial yang memunculkan pikiran dan diri yang dibentuk dari pola-pola interaksi antar individu. Dan norma-norma dalam masyarakat adalah sebagai respon.
Analisis Mead tentang masyarakat, menggabungkan kajian fenomena mikro dan makro dari masyarakat. Mead mengatakan ada tiga unsur dalam masyarakat yaitu individu biologis, masyarakat mikro, dan masyarakat makro.
Pada awalnya, konsep individu biologis dimaknai oleh Mead sebagai individu yang polos dan belum mendapatkan pengaruh apa-apa dari lingkungannya. Dan ketika individu itu mulai memasuki wilayah masyarakat yang mikro, maka individu itu akan terpengaruh dalam perilakunya. Dan masyarakat makro itu sendiri terbentuk dari serangkaian kompleks dari perilaku individu yang dipengaruhi oleh lingkungan mikro dari individu itu sendiri, seperti keluarga. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh antara perilaku individu dan masyarakat baik mikro dan makro berhubungan timbal balik.
Daftar Pustaka
Chabib Mustofa, Hand-Out Teori Sosiologi Modern
Craib, Ian. 1986. Teori 2 Sosiologi Modern Dari Parson-Harbermas. Rajawali. Jakarta
Doyle Paul Johnson, diIndonesiakan Robert MZ Lawang. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid 2. Gramedia. Jakarta
M. Zeitlin, Irving. Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada Press. Yogjakarta
Gagasan – Gagasan Penting George H. Mead

* Masyarakat Mikro dan Makro

Dalam teori mengenai fenomena mikro dan makro dalam masyarakat, Mead menyatakan bahwa ada tiga elemen yang berhubungan dengan individu. Hubungan – hubungan tersebut yakni individu biologis, masyarakat mikro dan masyarakat makro. Masyarakat mikro mulai mempengaruhi individu, kemudian disusul masyarakat makro, dan barulah pengaruh lingkungan fisik. Dari ketiga pengaruh tersebut itulah kemudian muncul perilaku. Terdapat hubungan timbal balik antara perilaku dengan individu biologis tersebut, yang kemudian mempengaruhi masyarakat mikro, makro, dan lingkungan fisik[4].

Mead memberikan penjelasan tentang masyarakat dimulai dari sesuatu yang bersifat makro, dengan terlebih dahulu memulai pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan makhluk atau individu biologis. Tidak selamanya individu menjadi makhluk biologis, sebab adanya interaksi sosial. Uniknya, interaksi sosial tidak hanya berjalan sekali atau berlangsung terus menerus. Pada awalnya, individu merupakan benar – benar sebagai makhluk biologis yang polos dan masih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Namun, setelah masuk dalam kehidupan sosial, ia mempengaruhi kehidupan sosial itu.

No comments:

Post a Comment