Self adalah
sebuah identitas yang berkaitan dengan pengembangan diri individu untuk membuat
perbedaan yang memisahkan satu individu dengan yang lain. Pembentukkan self berdasarkan
pandangan sosiologi, menurut Mead (1972) adalah pengembangan diri manusia melalui
beberapa tahap. Tidak jauh berbeda dengan pandangan dari sisi psikologi
dalam implicit personality theory yang menyatakan bahwa apa yang
ditampilkan seseorang muncul karena pandangan yang diadopsinya (Dweck, 1996). Implicit
personality theory adalah gabungan asumsi yang dimiliki seseorang tentang
perbedaan tipe, sifat-sifat kepribadian, dan kegiatan yang berhubungan dengan
pengaruh masa kanak-kanak. (Dweck et. al., 1995; Erdley&Dweck, 1993).
Hal-hal dari sudut pandang psikologi yang menjadi faktor yang pembentuk self
diantaranya adalah judging dan labeling dari lingkungan sekitarnya. Keduanya
membahas hal yang menjadikan seorang individu memiliki identitas.
Pembentukan Self dari Pandangan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menginterpretasikan
pemahaman dari kegiatan sosial yang bertujuan untuk memberikan penjelasan
tentang sebab dan akibat (Weber, 1964).
Merujuk kepada pandangan dalam ranah sosiologi, selain self
terbentuk berdasarkan beberapa tahap, ada juga pandangan Charles H. Cooley
yang memaparkan bahwa konsep diri berkembang melalui interaksi dengan orang
lain yang dikenal dengan looking-glass self. Persepsi akan looking-glass
self terkait dengan persepsi yang ditangkap seseorang atas dirinya yang
berasal dari orang lain dan dirinya, serta perasaan orang lain atas dirinya.
Pandangan Cooley ini memiliki kesamaan dengan pandangan Mead dimana pembentukan
self berasal dari interaksi sosial.
Pada pandangan oleh Mead pengembangan manusia berlangsung
melalui beberapa tahapan, yaitu play, game stage, dan tahap generalized
other. Pengembangan diri seseorang melalui peranan yang diambil (role
taking) pada setiap kali interaksi dengan orang lain. Melalui tahap pertama, paly
stage, anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada
di sekitarnya. Pada saat ini seorang anak biasanya meniru tingkah laku
orang lain. Seperti bermain dengan meniru peran yang dijalankan ayah, ibu,
dokter, atau polisi. Kemungkinan peran yang ditiru tergantung dengan peran apa
yang paling sering dilihatnya. Meskipun mereka menirukan apa yang dilakukan,
tetapi mereka tidak memahami sepenuhnya untuk apa orang yeng mereka tiru
perannya melakukan hal tersebut. Seperti ketika dari mereka menirukan ayahnya
yeng pergi untuk berangkat kerja, maka mereka tidak paham untuk apa ayahnya
pergi berkerja dan makna lainnya dibalik hal tersebut.
Tahapan selanjutnya adalah game stage,pada saat ini
seorang anak memahami peran yang harus dijalankannya dan bagaimana dia
menjalakannya dengan lawan ia berinteraksi. Contoh dalam kehidupan
sehari-hari, ketika seorang anak bermain dalam pertandingan bola sebagai
seorang penjaga gawang, maka pada saat itu ia mengetahui peranan pemain
(pemain, wasit, penjaga gawang) yang lain, baik dari timnya atau pun tim lawan.
Menurut Mead seseorang dapat dinyatakan dapat mengambil peranan orang lain.
Menurut Mead, orang-orang yang berperan penting dan
berpengaruh pada masa sosialisasi disebut dengan significant others,
seperti orang terdekat dalam keluarga, contohnya ayah dan ibu. Pada tahapan ketiga
sosialisasi, seseorang dapat dinyatakan dapat mengambil peranan yang dijalankan
oleh orang lain dalam masyarakat, generalized others. Individu dapat
berinteraksi karena telah mampu untuk memahami perannya sendiri serta peranan
orang lain yang berinteraksi dengannya. Contohnya seorang anak dapat memahami
perannya sebagai anak dari orang tuanya di rumah dan sebagai murid ia mampu
memahami peran seorang guru yang berinteraksi di sekolah dengannya. Pada
tahapan ini seseorang mempunyai suatu diri, secara tidak langsung dapat
disimpulkan bahwa Mead memaparkan bahwa diri seseorang terbentuk dari interaksi
dengan orang lain.
Interaksi dengan orang lain melalui agen-agen sosialisasi,
yaitu pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi (Fuller & Jacobs, 1973).
Yang termasuk ke dalam agen-agen sosiall, yang biasanya diterapkan di Amerika,
yang utama adalah keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem
pendidikan. Pada keluarga biasanya yang masuk dalam ruang lingkup
utamanya adalah orang tua dan saudara kandung, meskipun begitu terjadi
kecenderungan bergesernya agen sosialisasi yang utama ini. Contohnya di kota
besar banyak orang tua dengan mobilitas tinggi sehingga menitipkan anak pada
pembantu. Sehingga pembantu memerankan peranan penting sebagai agen sosialisasi.
Agen sosialisasi yang menjembatani anak masuk ke tahapan play stage.
Teman bermain merupakan agen sosialisasi selanjutnya
biasanya yang termasuk adalah teman sekolah, tetangga, atau keluarga yang
hubungannya tidak setingkat (orang tua-anak,, paman-keponakan, atau
kakek-cucu). Pada agen sosialisasi ini anak mempelajari kemampuan baru. Pada
agen sosialisasi ini anak memasuki tahapan game stage. Agen sosialisasi
berikutnya adalah sistem pendidikan, yang biasanya lebih erat kaitannya dengan
sistem pendidikan formal, yaitu sekolah. Selain dari pelajaran yang dipelajari,
sekolah mengajarkan hal lain yang tidak diajarkan agen–agen sosialisasi
sebelumnya. Menurut Robert Dreeben (1986), sekolah mengajarkan kemandirian,
prestasi, universalisme, dan spesifitas. Pelajaran yang diungkapkan oleh
Dreeben memang diberikan di sekolah, walaupun tidak secara langsung. Banyak hal
yang dapat membawa anak kepada pengajaran tersebut seperti rangking di kelas,
keharusan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, perlakuan sama yang ia dapat di
sekolah, dan keanekaragaman mata pelajaran yang ada.
Light, Keller, dan Calhoun (1989) memaparkan agen
sosialisasi selanjutnya adalah media massa, yang termasuk kategori media massa
adalah media cetak (surat kabar, majalah) maupun media elektronik (radio,
televisi, video, film, kaset, CD). Perlu ditambahkan media elektronik yang
terkini dan mengalami perkembangan, yaitu internet. Media massa adalah agen
sosialisasi yang dapat menghimpun banyak orang untuk menyampaikan satu
informasi. Pesan yang disampaikan dapat bermuatan sosial dan anti-sosial.
Sampai pada tahun 1973, Fuller dan Jacobs belum dapat memastikan dampak
signifikan yang disebabkan dari menonton televisi pada anak. Hingga pada tahun
1992, studi yang dilakukan oleh Norman K. Meyrowitz, memberikan gambaran
bahwa televise memiliki kemampuan untuk mempangaruhi sensibilitas penontonnya.
Selain itu muncul juga kekerasan pada tayangan anak-anak, seperti yang muncul
dalam film kartun Tom&Jerry. Hal ini dapat memberikan dampak negatif
kepada anak. Meskipun begitu masih ada tayangan edukatif tersedia di televisi
seperti tayangan anak-anak yang mengajarkan hal-hal tertentu, seperti menyanyi,
membaca, atau belajar bahasa inggris. Namun semenjak berkembangnya internet,
televise berkurang porsinya, sebab banyak yeng beralih kepada internet. Disini
agen sosialisasi keluarga berperan memberikan pengawasan. Agar anak dapat
belajar menyaring informasi yang didapatkannya.
Pembentukan Self dari Pandangan Psikologi
Psikologi adalah studi ilmiah tentang tingkah laku dan
proses mental. Dimana tingkah laku termasuk di dalamnya adalah aksi dan reaksi
yang muncul seperti, bicara, ekspresi wajah, dan pergerakan. Sementara itu
proses mental terkait dengan segala hal yang sifatnya internal, aktivitas yang
tidak terlihat dari pikiran, seperti berpikir, merasa, dan mengingat.
(Ciccarelli, 2006).
Sebelumnya telah dipaparkan tentang pandangan psikologi
mengenai self yang berkaitan dengan teori kepribadian implisit.
Contoh bagian masyarakat yang memiliki pemahaman akan teori kepribadian
implisit adalah orang-orang yang percaya bahwa orang-orang yang bahagia
biasanya akan menjadi ramah dan orang yang pendiam adalah orang yang pemalu.
Menurut Piaget, meskipun asumsi atau hal yang mereka percaya tersebut tidak
sepenuhnya benar, sebab mungkin ada faktor lain yang mempengaruhi, namun ini
membantu mereka untuk membentuk suatu konsep yang merepresentasikan bagaimana
kategori tipe orang tertentu. Sayangnya hal ini dapat dengan mudah membentuk
sebuah stereotype, jika orang tersebut tidak memiliki banyak pengalaman
bertemu orang lain yang berbeda darinya, seperti warna kulit dan karakteristik
fisik yang berbeda darinya (Levy, 1998).
Beberapa bukti menyatakan bahwa ada perbedaan dalam teori
kepribadian implisit di berbagai negara. Hal ini disebabkan faktor kultural dan
individual yang berbeda. Dapat dicontohkan dari hasil penilitian di dua negara
yang berbeda dari dua benua yang berbeda , yaitu Amerika dan Hongkong
(keturunan Cina), mengenai kepribadian. Responden dalam penilitia diberikan
pertanyaan tentang seberapa mungkin kepribadiaan pada individu dapat
berubah. Responden dari Amerika menyatakan bahwa kepribadian seseorang
relatif tetap dan tidak berubah. Sedangkan orang Cina yang tinggal di
Hongkong memiliki asumsi bahwa kepribadian sifatnya dapat berubah(Chiu et al.,
1997).
Ada pula aspek sosial lain yang berkaitan dengan kognisi
untuk menjelaskan tingkah laku dari orang lain. Seperti pada saat seorang
melihat tingkah laku orang lain, maka ia akan berpikir alasan dari tingkah laku
tersebut. Hal adalah bagian alamiah seseorang sebian berasal dari rasa ingin
tahu untuk menjelaskan satu hal dan apabila mereka tidaka menemukan jawaban
yang jelas, maka mereka akan membuat alasan dengan pemikirannya sendiri.
Penjelasan dari proses tentang alasan kita melakukan diri sendiri dan orang
lain melakukan suatu tingkah laku disebut attribution.
Attribution theory
dikembangkan pertama kali oleh psikolog sosial, Frietz Heider (1958), teori
bukan hanya sebagai penjelasan mengapa mereka melakukan hal tersebut, tapi juga
memberikan penjelasan umum dari tingkah laku tersebut. Penyebab tingkah laku
dibagi menjadi dua yaitu dari eksternal dan individual. Penyebab eksternal bisa
berupa akibat dari cuaca, kemacetan, kesempatan pendidikan, dan lain-lain, hal ini
biasa disebut dengan kasus situasional. Contohnya adalah ketika seseorang
terlambat karena mengalami kemacetan di jalan. Penyebab individual berhubungan
dengan karakteristik kepribadian yang ditemukan berdasarkan observasi tingkah
laku, disebut juga penyebab disposisional. Contohnya seseorang datang terlambat
karena dirinya malas untuk bangun lebih pagi. Selain itu pandangan berdasar
attribution theory biasanya memiliki keterikatan emosional, misalnya seseorang
melakukan hal yang salah karena mengalami hari yang kurang baik.
Ada pula yang disebut dengan fundamental
attribution theory, yaitu tendensi orang-orang untuk lebih percaya terhadap
pengaruh karakteristik internal seseorang dibandingkan pada kondisi yang ada
terhadap muculnya satu perilaku. Dengan kata lain mereka lebih percaya terhadap
hal yang membuat orang melakukan sesuatu karena apa yang ada di dalam dirinya,
tipe orang tertentu, dibandingkan faktor luar atau situasi yang membuat orang
berlaku seperti itu (Harman, 1999; Jones & Harris, 1967; Weiner, 1985).
Contohnya seorang yang lebih percaya bahwa anak yang mendapat nilai jelek
pada ulangan adalah anak yang bodoh, bukan karena kemungkinan anak itu tidak
belajar atau sedang sakit sehingga tidak dapat mengerjakan soal ulangan.
Menurut Dweck hal lain yang mempengaruhi pembentukkan self
dapat terjadi karena judging dan labeling. Pada proses judging
seseorang cenderung memberikan perbandingan dengan orang lain. Melalui
interaksi yang dilakukan dengan orang lain mereka perbandingan untuk melakukan
pengukuran untuk satu kriteria tertentu. Hal yang biasanya dibandingkan
adalah kecerdasan, kepribadian, dan karakter. Menyangkut kecerdasan
biasanya judging yang ada berdasarkan atas keberhasilan atau kegagalan
yang didapatkan. Pada penelitian yang dilakukan Gail Heyman dan Carols Dweck
(1998), mereka menanyakan beberapa anak sekolah tentang siapa saja teman
sekelas mereka yang dinilai memiliki nilai bagus dalam mengerjakan tugas dan
kenapa mereka berpikir orang-orang itu memiliki kemampuan seperti itu. Beberapa
diantaranya memberikan jawaban bahwa orang yang mereka anggap pintar memang
pada dasarnya sudah pintar dan itu terjadi begitu saja. Mereka memberikan
penilaian meninjau dari aspek kebiasaan, konsentrasi, kemampuan menghadapi
masalah, dan motivasi. Semua itu cenderung mengarah kepada keberhasilan.
Sementara jika dibandingkan dengan studi dengan pertanyaan yang menanyakan
siapa saja teman sekelas mereka yang mendapat nilai kurang bagus, mereka
menyatakan bahwa mereka adalah orang yang gagal dalam pelajaran. Ini
menunjukkan bahwa kecerdasan dinilai dengan mengukur keberhasilan yang diraih,
terutama dalam hal akademisi.
Pada proses labeling kemampuan persuasive orang lain
memiliki andil. Opini yang terbentuk pada diri seseorang yang berasal dari
orang lain dapat menjadikan orang tersebut seperti apa yang di dalam opini
orang lain. Impresi mempengaruhi untuk menilai orang lain. Seperti pada studi
yang dikemukan oleh Chiu (1997) bahwa kita dapat merubah teori implisit,
sekaligus untuk merubah tendensi perkiraan sifat yang muncul dari lawan
berinteraksi.
Perbandingan Pandangan Psikologi dan Sosiologi Dalam
Pembentukkan Self
Dari pengertian keduanya, Psikologi dan Sosiologi, dapat
disimpulkan bahwa keduanya memiliki sedikit perbedaan kajian. Sosiologi
memandang objek kajiannya dengan kegiatan sosial, sedangkan psikologi meninjau
proses yang terjadi yang berhubungan dengan kejiwaan manusia. Namun, sebagai
ilmu pengetahuan keduanya berkesinambungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana
mereka memandang pembentukkan self juga memiliki kesamaan, yaitu berasal dari
interaksi sosial dengan sekitarnya.
Mengingat keduanya adalah ilmu yang berbeda, tentu saja
keduanya juga memiliki perbedaan. Sosiologi memandang bahwa pembentukkan self
terjadi secara bertahap dengan mempelajari kemampuan baru melalui agen sosial.
Psikologi memandang pembentukan self pandangan orang lain yang
memberikan pengaruh. Pada tinjauan psikologi, self dipengaruhi dua hal,
yang bersifat bawaan berupa sifat di dalam diri seseorang dan suatu hal yang sifatnya
situasional. Selain itu juga ada judging dan labeling yang
memberikan pengaruh dalam membentuk self sebagai representasi diri dari orang
lain, sebenarnya hal ini hampir sama dengan teori sosiologi mengenai looking
glass self. Hal yang dibicarakan relatif sama, yaitu mengenai asumsi.
Perbedaan lain dari keduanya, dimana sosiologi memberikan
istilah khusus dengan mengkategorikan lawan interaksi ke dalam agen-agen
sosial, sedangkan psikologi menggeneralisasikannya. Secara garis besar
perbedaan lainnya juga ditunjukkan dengan sosiologi memandang pembetukkan self
drai faktor sosial dan eksternal, sedangkan dari pandangan psikologi juga
diiringi dengan faktor dalam diri orang tersebut. Dapat dilihat keterkaitan
keduanya dalam membahas self, dimana teori yang ada saling mendukung
dalam pembentukkan self.
Referensi
Ciccarelli, S. K., & Meyer, G. E. (2006). Psychology.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Dweck, S. C. (2000). Self-Theories. Philadelphia:
Psychology Press.
Lisus, N. A., & Ericson, R. V. (1995). The Effect of
Television Format on Holocaust Remembrance. The British Journal of Sociology
, 46, 1-19.
Sunarto, K. (2000). Pengantar Sosiologi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Psikologi Masyarakat
Masyarakat dan kebudayaannya
pada dasarnya merupakan tayangan besar
dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis.
Pada masyarakat yang kompleks (majemuk)
memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan
kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini
sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang
saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh
kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan
belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam
masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan
karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu
dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses
pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya,
karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan
pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas
peristiwa lain , karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada
pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Masyarakat Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang
sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan,
baik perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam
kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan
akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan
konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut, karena setiap anak manusia
lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu
(culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan
proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia,
dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung
mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang
kemudian memunculkan adanya kepribadian
rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat
tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari
pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada sekelompok individu pada
masyarakat tertentu..
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat
di dalam organisasai intra psikis individu
anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan
anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila
ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh
pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan
obyektif masyarakat yang dihadapi suatu
masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja :
1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko
analitik. Teori Erich Formm mengenai
watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori
lainnya mengenai tranmisi kebudayaan
dalam hal membentuk “kepribadian
tipikal’ atau kepribadian
kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi
sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu
kebudayaan dengan kebutuhan obyektif
yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya
kedalam unsur-unsur watak (traits) dari
individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.
Unsur-unsur
watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut
melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka,
sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari
orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan
masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2
proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara
dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir
metaphoric sehingga dapat memperluas
atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang
berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga
kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan
vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat
pendukungnya.
Kebudayaan
adalah hasil dari cipta sebagai keluaran dari proses manipulasi manusia yang berorientasi
pada kebutuhan hidup. Menurut Mead, masyarakatlah yang pertama kali muncul lalu
diikuti pemikiran-pemikiran yang ada dalam masyarakat. Kelompok sosial yang
selanjutnya membentuk kesadaran diri dan perkembangan mental individu.
Oleh
karena itu, Mead juga menyimpulkan alasannya membuat konsep interaksionisme
simbolis, yaitu pemakaian konsep psikologi sosial dengan konsekuensi yang
melekat padanya. Untuk menganalisis perilaku ataupun tindakan sosial harus
dimulai menganalisis perilaku sosial sebagai kompleksitas dari
perilaku-perilaku individu yang menjadi bagian-bagian perilaku sosial tersebut.
Dan juga, bagi psikologi sosial adalah keseluruhan (masyarakat) mendahului
bagian (individu), bukan bagian mendahului keseluruhan, bukan keseluruhan menurut
satu atau beberapa bagian.
Dalam
konsep teori Herbert Mead tentang interaksionisme simbolis terdapat
prinsip-prinsip dasar yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. manusia dibekali kemampuan berpikir, tidak seperti binatang
b. kemampuan
berpikir ditentukan oleh interaksi sosial individu
c. dalam
berinteraksi sosial, manusia belajar memahami simbol-simbol beserta maknanya
yang memungkinkan manusia untuk memakai kemampuan berpikirnya
d. makna
dan simbol memungkinkan manusia untuk bertindak (khusus dan sosial) dan
berinteraksi
e. manusia
dapat mengubah arti dan simbol yang digunakan saat berinteraksi berdasar
penafsiran mereka terhadap situasi
f. manusia
berkesempatan untuk melakukan modifikasi dan perubahan karena berkemampuan
berinteraksi dengan diri yang hasilnya adalah peluang tindakan dan pilihan
tindakan
g. pola
tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok bahkan
masyarakat.
A. Mind (Akal
Budi atau Pikiran)
Pikiran bagi Mead tidak dipandang sebagai objek, namun lebih ke proses
sosial. Mead juga mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk menggunakan
simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Menurut Mead, manusia harus
mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Pikiran manusia
sangat berbeda dengan binatang. Namun, juga ada interaksi dan perilaku manusia
yang tidak dijembatani oleh pikiran, sehingga terdapat persamaan dengan
binatang.
Pikiran dalam analisis Mead adalah suatu proses internal individu yang
menimbang-nimbang tentang kebaikan-keburukan, keuntungan-kerugian sebuah
tindakan sebelum individu melakukannya. Pikiran sangat dipengaruhi
pengalaman-pengalaman dan memori-memori masa lalu, ini juga yang membedakan
antara manusia dengan binatang, yaitu mengambil pelajaran dari suatu
pengalaman.
Misalnya interaksi antara dua anjing, pada dasarnya hanya pertukaran
isyarat yang menimbulkan reaksi, singkatnya proses aksi-reaksi. Dan, tidak ada
pemakaian akal budi dalam proses itu. Pada manusia dalam proses aksi-reaksi
secara umum melibatkan akal budi, manusia mengerti makna dari isyarat atau
simbol dari manusia lain, lalu menafsirkannya dengan akal budi, dan di sinilah
terjadi proses sosial yang dimkasud oleh Mead di atas.
Pikiran manusia berorientasi pada rasionalitas. Dengan pikiran itulah
manusia bisa melakukan proses refleksi yang disebabkan pemakaian simbol-simbol oleh manusia yang
berinteraksi, sebut saja sebagai aktor. Simbol-simbol yang digunakan adalah
berbentuk gestur dan bahasa yang bagi Mead dianggap sebagai simbol-simbol
signifikan yang akan dibahas selanjutnya. Ciri khas dari pikiran adalah
kemampuan individu untuk tidak sekedar membangkitkan respons orang lain dari
dalam dirinya sendiri, namun juga respons dari komunitas keseluruhan.
Namun, apabila dikaji lebih dalam, interaksi antarmanusia lebih memiliki
kecenderungan dalam penggunaan bahasa verbal daripada gestur, namun tidak
dipungkiri juga pemakaian gestur atau isyarat tubuh sering digunakan.
Manusia dalam menginteraksikan simbol-simbol dalam kehidupan, baik gestur
maupun bahasa, prasyaratnya adalah konsensus bersama suatu kelompok atau
organisasi sosial tentang makna dari sebuah simbol. Hal ini juga mengakibatkan
perbedaan makna tergantung pada lokal masyarakatnya. Contohnya adalah gestur
menggelengkan kepala di masyarakat Indonesia mewakili makna tidak atau tidak
setuju, di lain tempat, makna dari menggelengkan kepala adalah mempersetujui
atau mengiyakan sesuatu hal, dan ini terjadi di masyarakat India. Namun, selain
memiliki perbedaan, ada juga makna universal yang dapat dipakai dalam mengartikan
sebuah simbol oleh masyarakat. Seperti, gestur senyuman yang dilakukan
seseorang akan mewakili sebuah makna kesenangan atau kebahagiaan, dan makna ini
berlaku secara universal di manapun.
Berbeda dengan bahasa, gestur memiliki lebih sedikit kekayaan makna
daripada bahasa jika pemakaian bahasa digunakan pada individu yang dominan
dengan komunikasi verbal. Jika dilihat pada individu-individu dengan cacat
fisik seperti tuna rungu, sebaliknya gestur sangat mendominasi penginteraksian
makna-makna melalui simbol-simbol gestur. Dan gestur-gestur yang digunakan oleh
para tuna rungu ini secara universal digunakan tanpa ada perbedaan kultural.
B. Aksi (Tindakan) dan
Interaksi
Fokus dari interaksionisme simbolik adalah dampak dari makna-makna dan
simbol-simbol yang digunakan dalam aksi dan interaksi manusia dalam tindakan
sosial yang covert dan overt. Melalui aksi dan interaksi
ini pula manusia membentuk suatu makna dari simbol yang dikonstruksikan secara
bersama. Suatu makna dari simbol dapat berbeda menurut situasi.
Aksi atau tindakan sosial pada dasarnya adalah sebuah tindakan seseorang
yang bertindak melalui suatu pertimbangan menjadi orang lain dalam pikirannya.
Atau, dalam melakukan tindakan sosial, manusia dapat mengukur dampaknya
terhadap orang lain yang terlibat dalam serangkaian tindakan itu.
Dalam proses interaksi, manusia memakai simbol-simbol untuk
mengomunikasikan makna-makna dalam diri yang ingin disampaikan. Dan setelahnya
proses tadi, manusia lain yang terlibat dalam interkasi tersebut
mengintepretasikan simbol-simbol tadi berdasar intepretrasinya sendiri. Secara
garis besar terdapat hubungan timbal balik antar aktor dalam berinteraksi.
Analisis Mead tentang stimulus dan respon masuk dalam kerangka perilaku
seperti ini, seperti hewan yang hanya melempar stimulus dan menerimanya
sehingga mengeluarkan respon untuk stimulus itu seketika itu juga tanpa
mempertimbangkan apapun berdasar pengalaman atau memori.
Berbeda dengan manusia sebagai individu yang berinteraksi dengan manusia
yang lain, perbedaannya dalam interaksi antarmanusia sebagai individu terdapat
tempat atau momentum di mana pikiran mengambil tempat dalam proses
stimulus-respon tersebut. Manusia sebagai individu memiliki pikiran yang
mempengaruhi setiap tindakan yang akan dilakukan olehnya.
Perbedaan interaksi manusia dengan binatang adalah langsung dan tidak
langsung. Binatang langsung merespon apa yang diterimanya dari binatang lain,
namun manusia memiliki kesempatan untuk memikirkan tindakan terbaik apa yang
menurut subjektifnya yang akan dilakukan. Misal, ada seekor anak kucing yang
sedang marah lalu menegakkan bulu-bulu di badannya di hadapan kucing yang lain,
maka kucing yang lain akan memberikan secara langsung respon marah dan ingin
berkelahi dengan kucing yang melempar stimulus tadi. Sebagai perbandingan,
ketika Joko yang bekas korban kecelakaan sepeda motor, maka ia akan lebih
berhati-hati dalam memutuskan dia akan menjadi pengendara atau pembonceng
karena pengaruh pengalaman atau memori masa lalunya.
Tindakan menurut Mead menurut analisisnya melalui empat tahapan, yaitu impuls,
persepsi, manipulasi, dan konsumasi. Keempat tahap ini menurut Mead menjadi
suatu rangkaian dalam melakukan suatu tindakan yang tidak dapat dilepaskan satu
per satu.
Impuls, sama seperti stimulus atau rangsangan yang didapatkan ataupun
muncul tiba-tiba pada seorang individu. Dalam kehidupan sosial, impuls bukan
hanya sekedar rasa lapar saja, melainkan juga berbagai masalah dapat menjadi
impuls bagi individu yang menyebabkan individu harus dapat mencari pemecahan
terhadap masalah tersebut.
Persepsi adalah proses tanggapan dan respon terhadap impuls (permasalahan)
yang dihadapi individu. Pikiran (Mind)
dalam tahap ini sangat berperan penting dalam menyikapi impuls tersebut. Pada
tahap persepsi yang memerankan pikiran dalam prosesnya, individu memberi ruang
untuk memikirkan dan mempetimbangkan segala sesuatu untuk bertindak, mana yang
akan diambil dan dibuang dari pikirannya.
Manipulasi menjadi tahap ketiga dari serangkaian tahap tindakan. Tahap ini
menjadi proses tentang pengambilan keputusan setelah melalui tahap persepsi
tadi.
Konsumasi adalah suatu proses di mana individu untuk menentukan melakukan
sebuah tindakan atau tidak untuk memenuhi kebuthan yang diciptakan dari impuls
tadi. Disini terdapat perbedaan antara manusia dan binatang, dalam tahap ini
dan manipulasi, pengalaman masa lalu dilibatkan oleh individu yaitu manusia,
berbeda dengan binatang yang dalam dua tahap ini bersifat coba-coba.
Keempat tahap tersebut di atas dapat dianalogikan seperti ini. Kebutuhan
akan pemenuhan pengumpulan tugas mata kuliah Teori Sosial Politik pada hari
Rabu minggu depan membuat mahasiswa Sosiologi bingung dalam kebutuhan tersebut.
Dengan belajar kelompok dipikirkan sebagai suatu jalan keluar bagi permasalahan
tersebut, belajar kelompok pun harus memilih seorang mahasiswa yang mempunyai
kompetensi untuk membantu mahasiswa-mahasiswa yang menghadapi permasalahan itu
dan Joko adalah mahasiswa yang berkompeten. Keputusannya adalah belajar
kelompok di kostnya Joko. Sehingga, pada hari Kamis malam beberapa mahasiswa
Sosiologi pun belajar kelompok di kostnya Joko.
C. Self (Diri)
Diri menurut Mead juga bukan merupakan sebuah objek, namun sebagai subjek
sebagaimana pikiran. Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri
dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis
pengambilan peran, membayangkan bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Diri
adalah suatu proses sosial yang mempunyai kemampuan:
1. memberikan
jawaban atau tanggapan kepada diri sendiri seperti orang lain memberi tanggapan
atau jawaban,
2. memberikan
jawaban atau tanggapan seperti norma umum memberikan jawaban kepadanya (Generalized Others),
3. mengambil
bagian dalam percakapannya sendiri dengan orang lain,
4. menyadari
apa yang sedang dilakukannya sekarang dan kesadaran untuk melakukan tindakan
pada tahap selanjutnya.
Menurut Mead, diri itu mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi.
Ada tiga tahap dalam proses sosialisasi ini, yaitu tahap bermain (Play stage), tahap permainan (Game stage), dan tahap orang lain
pada umumnya (Generalized
Others).
Tahap bermain (play
stage) penuh dengan kepura-puraan, maksudnya dalam tahap ini,
anak-anak mengambil peran atau mengandaikan dirinya sebagai orang lain. Atau
“pura-pura menjadi orang lain”. Dalam perkembangan yang ‘pura-pura” ini, proses
pemahaman diri sebagai peran pengandaiannya kurang mapan, tidak tertata, dan
tidak pada umumnya. Misalnya, seorang anak kecil yang bermain “pasaran” dalam konteks masyarakat
Jawa, maka anak itu akan mengandaikan dirinya sebagai seorang pedagang karena
bapak ibunya adalah pedagang, namun pemahaman sebagai pedagang hanya dipahami
sebagai proses jual beli saja.
Tahap permainan (game
stage) menuntut seorang individu memerankan peran dengan utuh.
Kesadaran menempati posisi membawa konsekuensi untuk memenuhi semua hak dan
kewajiban yang dibebankan pada posisi itu. Sehingga pada tahap ini kepribadian
yang kokoh mulai dibentuk. Misalnya, anak-anak yang tadi hanya bermain pasaran saja, sekarang mulai
menempatkan posisinya sebagai pedagang yang bukan pura-pura lagi. Anak kecil
tadi yang sudah beranjak dewasa mulai memahami posisi sebagai pedagang dengan
segala konsekuensinya.
Tahap yang ketiga adalah generalized
other atau orang lain pada umumnya. Pada tahap ini, setelah
kepribadian yang kokoh sudah mulai terbentuk maka kemampuan mengevaluasi diri
mereka sendiri dari sudut pandang orang lain atau masyarakat pada umumnya,
tidak sekedar dari sudut pandang individu-individu yang tersegmentasi. Disini norma sosial yang berlaku memilki pengaruh yang
kuat dalam penentuan tindakan.
Dalam tahap ini menuntut seorang anak kecil yang sudah beranjak dewasa tadi
untuk memiliki kemampuan berpikir serta berempati seperti pedagang lain pada
umumnya untuk melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan dalam
menentukan harga jualannya.
Diri menurut Mead adalah kemampuan khas manusia untuk menjadi subjek dan
objek (I dan Me). Tahap-tahap perkembangan diri
manusia yang telah disebutkan di atas harus mengalami proses komunikasi
antarmanusia, aktivitas, serta relasi sosial.
I dalam analisis Mead menempatkan diri sebagai individu yang sangat
subjektif. Oleh karena itu, I
akan memberikan reaksi yang berbeda-beda tiap individu akan suatu rangsangan
atau stimulus. Nilai yang dianut oleh tiap individu menyebabkan beragamnya
penafsiran dan intepretasi akan sesuatu. I juga
membuat kehidupan baik individu dan sosial menjadi sangat dinamis. Pada taraf
subjektivitas, perilaku individu akan menjadi spontan dan tidak teramalkan.
Misalnya saja, untuk penafsiran tentang arti kecantikan akan berbeda dari tiap
individu bahkan yang berada di suatu masyarakat yang sama.
Me lebih stabil daripada I,
karena Me adalah
kristalisasi dari serangkaian norma yang dibuat secara umum. Artinya, diri
sebagai objek akan memberi ruang untuk pengaruh norma sosial atau dengan kata
lain, konsep generalized
other akan sangat mempengaruhi diri. Me membuat individu dalam bertindak
penuh dengan kontrol, sehingga setiap tindakannya akan normatif.
I dalam diri seorang seniman akan lebih kuat daripada pengaruh Me, karena nilai kreativitas yang
menghancurkan nilai-nilai konservatif dalam diri seseorang. Lain halnya dengan
seseorang yang berjiwa konservatif, orang desa misalnya, mereka akan tetap
bertahan hidup di lingkungan pedesaan dengan gaya hidup yang cenderung sama
dari waktu ke waktu.
Dapat disimpulkan bahwa, faktor I
dalam kehidupan individu sangat menentukan proses perubahan baik di level
individu dan masyarakat pada umumnya.
Diri sebagai subjek adalah kemampuan diri untuk memberikan tanggapan
terhadap apa yang ia keluarkan atau tujukan kepada orang lain, dan tanggapan
yang diberikan tadi juga termasuk dalam serangkaian dari tindakan. Sedangkan
diri sebagai objek maksudnya adalah diri tidak hanya mendengarkan dirinya
sendiri namun juga merespon tindakan yang telah dilakukan seperti individu lain
merespon.
D. Society (Masyarakat)
Fokus Mead adalah psikologi, maka tidak heran jika pembahasannya tentang
masyarakat dapat dikatakan lemah. Mead melihat masyarakat tidak seperti
Durkheim dan Marx yang makro, Mead tidak berbicara tentang masyarakat dalam
skala besar beserta struktur di dalamnya. Menurut Mead, masyarakat adalah
sekedar organisasi sosial yang memunculkan pikiran dan diri yang dibentuk dari
pola-pola interaksi antar individu. Dan norma-norma dalam masyarakat adalah
sebagai respon.
Analisis Mead tentang masyarakat, menggabungkan kajian fenomena mikro dan
makro dari masyarakat. Mead mengatakan ada tiga unsur dalam masyarakat yaitu
individu biologis, masyarakat mikro, dan masyarakat makro.
Pada awalnya, konsep individu biologis dimaknai oleh Mead sebagai individu
yang polos dan belum mendapatkan pengaruh apa-apa dari lingkungannya. Dan
ketika individu itu mulai memasuki wilayah masyarakat yang mikro, maka individu
itu akan terpengaruh dalam perilakunya. Dan masyarakat makro itu sendiri
terbentuk dari serangkaian kompleks dari perilaku individu yang dipengaruhi
oleh lingkungan mikro dari individu itu sendiri, seperti keluarga. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pengaruh antara perilaku individu dan masyarakat baik
mikro dan makro berhubungan timbal balik.
Daftar
Pustaka
Chabib
Mustofa, Hand-Out
Teori Sosiologi Modern
Craib, Ian. 1986. Teori 2
Sosiologi Modern Dari Parson-Harbermas. Rajawali. Jakarta
Doyle Paul Johnson, diIndonesiakan Robert MZ Lawang. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid 2.
Gramedia. Jakarta
M.
Zeitlin, Irving. Memahami
Kembali Sosiologi. Gadjah Mada Press. Yogjakarta
Gagasan
– Gagasan Penting George H. Mead
* Masyarakat Mikro dan Makro
Dalam teori mengenai fenomena mikro dan makro dalam masyarakat, Mead menyatakan bahwa ada tiga elemen yang berhubungan dengan individu. Hubungan – hubungan tersebut yakni individu biologis, masyarakat mikro dan masyarakat makro. Masyarakat mikro mulai mempengaruhi individu, kemudian disusul masyarakat makro, dan barulah pengaruh lingkungan fisik. Dari ketiga pengaruh tersebut itulah kemudian muncul perilaku. Terdapat hubungan timbal balik antara perilaku dengan individu biologis tersebut, yang kemudian mempengaruhi masyarakat mikro, makro, dan lingkungan fisik[4].
Mead memberikan penjelasan tentang masyarakat dimulai dari sesuatu yang bersifat makro, dengan terlebih dahulu memulai pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan makhluk atau individu biologis. Tidak selamanya individu menjadi makhluk biologis, sebab adanya interaksi sosial. Uniknya, interaksi sosial tidak hanya berjalan sekali atau berlangsung terus menerus. Pada awalnya, individu merupakan benar – benar sebagai makhluk biologis yang polos dan masih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Namun, setelah masuk dalam kehidupan sosial, ia mempengaruhi kehidupan sosial itu.
* Masyarakat Mikro dan Makro
Dalam teori mengenai fenomena mikro dan makro dalam masyarakat, Mead menyatakan bahwa ada tiga elemen yang berhubungan dengan individu. Hubungan – hubungan tersebut yakni individu biologis, masyarakat mikro dan masyarakat makro. Masyarakat mikro mulai mempengaruhi individu, kemudian disusul masyarakat makro, dan barulah pengaruh lingkungan fisik. Dari ketiga pengaruh tersebut itulah kemudian muncul perilaku. Terdapat hubungan timbal balik antara perilaku dengan individu biologis tersebut, yang kemudian mempengaruhi masyarakat mikro, makro, dan lingkungan fisik[4].
Mead memberikan penjelasan tentang masyarakat dimulai dari sesuatu yang bersifat makro, dengan terlebih dahulu memulai pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan makhluk atau individu biologis. Tidak selamanya individu menjadi makhluk biologis, sebab adanya interaksi sosial. Uniknya, interaksi sosial tidak hanya berjalan sekali atau berlangsung terus menerus. Pada awalnya, individu merupakan benar – benar sebagai makhluk biologis yang polos dan masih dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Namun, setelah masuk dalam kehidupan sosial, ia mempengaruhi kehidupan sosial itu.